MSA Law Office

Logo2
  • Beranda
  • Tentang Kami
  • Layanan Kami
    • Klien Tetap (Retainer)
    • Litigasi
    • Non Litigasi
      • Contact Drafting
      • Contract Review
      • Legal Drafting
      • Legal Advis & Pendapat Hukum (Legal Opinion)
      • Pelaksanaan Audit Hukum (Legal Audit)
      • Uji Tuntas Asek Hukum (Legal Due Diligence)
  • Tim Kami
  • Klien
  • Berita & Artikel
  • Hubungi Kami
Home Artikel Hukum

Potong Iuran BPJS tapi Tak Disetor, Perusahaan Terancam Sanksi Berat

Oleh : Mohammad Syaifulloh Annur, S.H., M.H.

admin by admin
21 Agustus 2025
in Artikel Hukum
0
0
SHARES
17
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Sistem Jaminan Sosial Nasional Melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)


Lahirnya Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang diundangkan pada tanggal 19 Oktober 2004, memberikan harapan bagi masyarakat (peserta dan/atau anggota keluarganya) terhadap terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak. Untuk mewujudkan hal itu Pemerintah menerbitkan Undang-undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) 7 (tujuh) tahun kemudian setelah lahirnya UU SJSN yang diundangkan pada tanggal 25 November 2011. Hal ini sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) UU SJSN yang mengamanatkan bahwa Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial harus dibentuk dengan UU.

Semangat yang di bawah UU SJSN dan UU BPJS selain dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak  juga dapat memperoleh jaminan apabila mengalami sakit, kecelakaan bahkan kematian dan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi peserta dan keluarganya dalam hal ini rakyat Indonesia. Melalui program ini, diharapkan setiap penduduk dapat terjamin ketika menderita sakit, kehilangan pekerjaan, dan memasuki usia lanjut atau pensiun.

BPJS diselenggarakan berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan Peserta dalam hal ini yaitu rakyat Indonesia. UU BPJS membentuk 2 (dua) BPJS yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Masing-masing untuk BPJS Kesehatan menyelenggarakan Program Jaminan Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Kematian, yang terakhir terdapat program terbaru berupa Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Pendaftaran Peserta dan pembayaran iuran diwajibkan terhadap setiap orang (termasuk orang asing) yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial. Implementasi pendaftaran peserta kepada BPJS tersebut dilaksanakan oleh Pemberi Kerja bagi pekerjanya dan wajib memungut iuran yang menjadi beban peserta maupun Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor iuran yang menjadi tanggungjawabnya kepada BPJS hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU BPJS.

Baca juga : Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Yang Diajukan Oleh Pekerja

Selanjutnya bagaimana apabila ada Perusahaan / Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) jika dikaitkan dengan Fungsi, Tugas, Wewenang, Hak dan Kewajiban BPJS?

Dalam pelaksanaan pembayaran iuran, perusahaan dapat mengalami banyak kendala terutama dalam hal keuangan apalagi saat Pandemi Covid-19 berlangsung, Perusahaan pun berdalih karena kondisi tersebut sehingga berdampak sangat signifikan pada keuangan perusahaan. Akan tetapi dalam implementasinya ada perusahaan (bahkan ironisnya berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara atau BUMN) yang tetap memungut iuran dari karyawannya dan tidak menyetorkannya ke BPJS Ketenagakerjaan dan/atau BPJS Kesehatan.

Jika terdapat kasus seperti itu, bagaimana upaya BPJS Ketenagakerjaan dan/atau BPJS Kesehatan jika dihubungkan dengan fungsi, tugas, wewenang serta hak dan kewajiban BPJS sebagaimana sudah sangat rinci dan jelas dimuat dalam ketentuan Bab IV Pasal 9 sampai dengan Pasal 13 UU BPJS. Bila Perusahaan tidak menyetorkan iuran BPJS yang menjadi kewajibannya dan yang telah dipungut dari Pekerjanya, maka BPJS wajib menagih dan memberikan sanksi kepada Perusahaan. Namun BPJS akan melakukan tahapan-tahapan dalam memberikan sanksi sebagaimana ketentuan Permenaker No. 4 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengenaan dan Pencabutan Sanksi Administratif Tidak Mendapatkan Pelayanan Publik Tertentu Bagi Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara.

Sanksi kepada Pemberi Kerja atau Perusahaan diawali dengan diberikannya sanksi administratif berupa teguran tertulis pertama dan kedua untuk jangka waktu masing-masing 10 (sepuluh) hari kerja, selanjutnya apabila tidak dilaksanakan maka BPJS akan mengenakan sanksi denda, dan apabila sanksi denda tidak dilaksanakan oleh Pemberi Kerja, maka BPJS akan melakukan koordinasi dengan Pengawas Ketenagakerjaan dan atas permintaan BPJS atau rekomendasi Pengawas Ketenagakerjaan kepada Unit Pelayanan Publik Tertentu, maka Pemberi Kerja atau Perusahaan dikenakan sanksi administratif Tidak Mendapatkan Pelayanan Publik Tertentu.

Selain Sanksi administratif sebagaimana yang disebutkan dalam Permenaker tersebut, Pemberi Kerja atau Perusahaan juga dapat dikenakan sanksi pidana apabila Perusahaan melanggar ketentuan Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) UU BPJS dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

T : Siapa yang dirugikan apabila ada Pemberi Kerja / Perusahaan yang tidak membayarkan iuran tersebut dan apa saja dampaknya, terlebih lagi bagian dari Pekerjanya sudah dipunggut ?

J : Akibat dari tidak dibayarkan iuran BPJS tersebut khususnya Iuran BPJS Ketenagakerjaan dimana ada Program JHT dan Program JP yang tentunya yang mengalami kerugian yaitu Pekerja, dimana saldo JHT dan JP serta hasil pengembangannya tidak bergerak (unmoved) semestinya akibat tidak dibayarkannya iuran tersebut, selain itu apabila tidak terbayarkan iuran dalam waktu minimal 1 (satu) bulan saja masa iuran maka Pekerja yang mengundurkan diri (resign) atau PHK tidak bisa mengambil hak JHT nya pada BPJS Ketenagakerjaan. Dan untuk iuran BPJS Kesehatan yang tidak dibayarakan maka Pekerja juga dirugikan karena tidak bisa menggunakan kartu BPJS untuk berobat.

T : Bagaimana seharusnya Negara hadir dalam memberikan perlindungan kepada rakyatnya (Pekerja selaku Peserta BPJS) ?

J : Melalui lembaga BPJS yang diberikan kewenangan oleh Undang-undang dan juga Pengawas Ketenagakerjaan (Penyidik PNS) yang ada di setiap Dinas Tenaga Kerja Provinsi dan/atau di Kementerian Tenaga Kerja R.I semestinya menjadi perhatian serius Pemerintah terhadap penegakan hukum (law enforcement)  terkait masalah tersebut, sehingga masyarakat dalam hal ini Pekerja yang dilanggar hak normatifnya dan dirugikan oleh Pemberi Kerja / Perusahaan yang tidak bertanggung jawab  dapat merasa terlindungi oleh Negara melalui aparat penegak hukumnya di bidang Ketenagakerjaan agar efektivitas sanksi yang terkandung dalam UU BPJS dan keberlakuan hukum bisa dirasakan manfaatnya.

Perusahaan atau Pemberi Kerja yang tidak membayarkan iuran BPJS akan merasa aman-aman saja dan diduga akan terus melakukan pelanggaran tersebut apabila sanksi yang ada tidak diterapkan dengan tegas apalagi setelah dipanggil oleh Pengawas Ketenagakerjaan (Penyidik PNS) di bidang Ketenagakerjaan dan setelah dikeluarkan Nota Pemeriksaan I dan II, Perusahaan tetap melanggar dan tidak ada tindaklanjutnya.


“Semestinya Law Enforcement UU BPJS menjadi perhatian serius Pemerintah, agar efektivitas sanksi dan keberlakuan hukum bisa dirasakan manfaatnya”.


Pengawasan Terhadap Pemberi Kerja/Perusahaan Yang Tidak Melaksanakan Kewajibannya Dalam Program Jaminan Sosial Perlu Ditingkatkan

Secara eksplisit maupun implisit bahwa yang membedakan norma hukum dan norma-norma lainnya adalah pada norma hukum dilekatkan suatu paksaan atau sanksi. Pengawasan terhadap perusahaan oleh pemerintah dalam program jaminan Sosial merupakan hal yang penting dan perlu ditingkatkan untuk memastikan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja dibawah naungan Perusahaan.

Tujuan dari pengawasan itu adalah agar dapat memantau pelaksanaan Undang-undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sehingga UU BPJS tersebut berjalan lebih efektif. Sanksi yang diberikan kepada Perusahaan merupakan upaya penegakan hukum oleh Pemerintah terkait dengan upaya memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat terutama pekerja di lingkungan Perusahaan yang tidak dibayar iuran BPJS nya oleh Pemberi Kerja/Perusahaan apalagi telah dipungut iuran BPJS dari sebagian gaji yang diterima yang menjadi kewajiban Pekerja dan kewajiban Perusahaan tersebut. Penegakan hukum ini termasuk dalam ranah hukum pidana yang berkaitan langsung dengan sanksi pidananya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 55 UU BPJS sehingga memberikan efek jerah bagi para pelanggar norma hukum yang terkandung dalam UU BPJS.

 

    Bibliografi :

  1. Andrias Winarno, Bambang Sugiri dan Yuliati Cholil, Kekaburan Norma dalam Pasal 55 Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, Media Iuris Volume 4 No. 3, Oktober 2021.
  2. Nurfatimah Mani, Perlindungan Hukum bagi Pekerja di Perusahaan Yang Tidak Membayar Iuran BPJS Ketenagakerjaan, Media Iuris Volume 2 No. 3, Oktober, 2019.
  3. Zelani, Komitmen Pemerintah Dalam Penyelenggara Dalam Jaminan Sosial Nasional, Jurnal Legislasi Indonesia, 2012.
  4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
  5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
  6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I (Permenaker) 4 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengenaan dan Pencabutan Sanksi Administratif Tidak Mendapatkan Pelayanan Publik Tertentu Bagi Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara.
Previous Post

UU BUMN 2025 : Direksi BUMN Bukan Penyelenggara Negara, Masih Bisa Dijerat Tipikor?

Next Post

Kontraktor Wajib Tahu! Risiko Hukum Kontrak Proyek Pemerintah Menjelang Akhir Tahun Pasca Perpres 46/2025

admin

admin

Next Post
Kontraktor Wajib Tahu! Risiko Hukum Kontrak Proyek Pemerintah Menjelang Akhir Tahun Pasca Perpres 46/2025

Kontraktor Wajib Tahu! Risiko Hukum Kontrak Proyek Pemerintah Menjelang Akhir Tahun Pasca Perpres 46/2025

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi Kami

MSA LAW OFFICE

Ketintang Barat 5/96A, Kelurahan Ketintang, Kecamatan Gayungan, Kota Surabaya-60231.

Griya Asri Menganti 4/A-3 Sidomulyo, Kelurahan Hulaan, Kecamatan Menganti – Gresik.

Handphone :
+62817 20 1083
+62813 333 98883

Email          : info@msalawoffice.co.id

ALAMAT :

Jl. Ketintang Barat 5/96A Surabaya

Griya Asri Menganti 4/A-3, Hulaan Menganti Gresik

TELEPON :

+62 817 2010 83

+62 813 3339 8883

EMAIL :

info@msalawoffice.co.id

syaifulloh@msalawoffice.co.id

Member Of :

   

  • Copyright © 2022 MSA LAW Office
WeCreativez WhatsApp Support
Tim Advokat/Penasehat Hukum Kami Siap Menjawab Pertanyaan Anda. Silahkan Tanya Permasalahan Hukum Yang Anda Butuhkan Disini !